Kematangan Beragama Orang Dewasa


I.      Pendahuluan
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa psikologi agama adalah ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut tata cara berpikir, bersikap, berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya. Hal itu mengalami sebuah perkembangan yang sampai sekarang masih tetap berjalan dan bertumbuh. Menurut Zakiah Daradjat,[1] pada tahun 1969, seorang ahli jiwa agama, W.H. Clark dengan tegas mengakui bahwa tidak ada yang lebih sukar dari pada mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk membuat definisi untuk agama. Karena pengalaman keagamaan adalah subjektif, intern dan individual, di mana setiap orang akan merasakan pengalaman keagamaan yang berbeda dari orang lain.
Sebagaimana pengalaman sejarah yang menunjukkan bahwa akibat dari memisahkan antara psikologi dan agama, telah terjadi kerugian besar. Agama tanpa psikologi berakhir dengan kemandekan dan prasangka buta, dan tidak dapat mencapai tujuan. Apabila tidak ada psikologi, agama menjadi alat bagi orang-orang pandai yang munafik.[2] Kasus kaum Khawarij pada zaman awal Islam dapat kita lihat sebagai salah satu contoh kemungkinan ini.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami melihat fenomena dan sekaligus mengkaji serta memaksimalkan untuk memamparkan apa yang dialami oleh orang dewasa yang semakin merugikan diri sendiri dan ada juga yang mengalami keberuntungan. Bagaimana sikap orang dewasa dalam beragama dan layaknya seperti apa? Bagaimana perkembangan keagamaan orang dewasa sehingga memiliki kebijakan-kebijakan dalam mengambil keputusan? Apa hambatan-hambatan yang menjadi faktor pemicu sikap orang dewasa dalam beragama, serta sejauhmana kematangan ia dalam beragama? Hal itu sangat menarik untuk kita pelajari dan teliti lebih lanjut.


II.      Pembahasan
A.       Pengertian Kematangan Beragama
Walter Houston mengatakan bahwa kematangan beragama merupakan kekuasaan dan kemampuan remaja yang praktis sama dengan orang dewasa, sangat mendasar dalam bidang kecerdasan, emosi, kepentingan-kepentingan sosial, dan sensitivitas moral.
Senada dengan pendapat tersebut, Ahyadi[3] juga menyatakan bahwa kesadaran beragama merupakan dasar dan arah dari kesiapan seseorang mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan, dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari dunia luar. Semua tingkah laku dalam kehidupannya, seperti berpolitik, berekonomi, berkeluarga, bertani, berdagang, berolah raga, berperang, belajar-mengajar, dan bermasyarakat diwarnai oleh kesadaran beragamanya.
Selanjutnya James dan Allport juga telah bersepakat bahwa kematangan beragama adalah nilai konsisten tertinggi dari sebuah moralitas. Mereka  mencoba menyimpulkan bahwa keagamaan yang terbaik paling tidak melibatkan sumber motivasi pribadi dan pengendalian moralitas pribadi yang memiliki hasil nilai  konsisten yang  jelas.
Jadi dapat ditarik benang merah bahwa kematangan beragama merupakan dasar dan arah dari kesiapan seseorang mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan, dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari dunia luar, baik dalam bidang kecerdasan, emosi, kepentingan-kepentingan sosial, maupun sensitivitas moral yang melibatkan sumber motivasi pribadi dan pengendalian moralitas, sehingga memiliki hasil nilai  konsisten yang  jelas.
B.        Tanda-tanda Kematangan Beragama
Menurut Hafi Anshari dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama” sebagaimana dikutip oleh Sururin,[4] kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukan dengan kesadaran dan keyakinan agama yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Apabila kematangan beragama telah ada pada diri seseorang, segala perbuatan dan tingkah laku keagamaannya senantiasa dipertimbangkan betul-betul dan dibina atas rasa tanggung jawab, bukan atas dasar peniruan dan sekedar ikut-ikutan saja.
Ada beberapa kemungkinan yang mengawali perkembangan kematangan beragama. Antara lain kebutuhan fisik ekstrem yang mendorong individu untuk mencari dan meramalkan arti dari kematangan beragama sebagai proses pencarian makna kebenaran. Namun, jika agama berkembang dari kebutuhan manusia seharusnya akan ada kematangan ekspresi, sebagai contoh, ekspresi intelektual agama ditunjukkan oleh minat dalam teologi yang dapat memeperkuat keinginan untuk menjalankan salah satu ajaran agama. Konsep-konsep kematangan dari sifat Tuhan dapat memenuhi kebutuhan kematangan beragama orang dewasa. Rasa ingin tahu tentang misteri keberadaan-Nya akan meningkatkan rasa percaya dengan adanya pengalaman mistik.
Untuk dapat  menentukan kematangan beragama, ada dua cara. Pertama, dari sudut pandang individu dapat kita anggap sebagai titik tertinggi perkembangan kematangan keberagamaan yang mungkin berbeda antara satu individu dengan individu  yang lain. Kedua, perkembangan keagamaan dijadikan sebagai konsep ideal yang dapat diukur dan dibandingkan.
Kematangan beragama tidak terjadi secara tiba-tiba karena tingkat kematangan beragama merupakan suatu perkembangan individu yang memerlukan waktu. Perilaku keagamaan yang dibina dengan kebiasaan sejak kecil, biasanya akan senantiasa hidup dalam kehidupan seseorang, sehingga untuk menyempurnakan kebiasaan tersebut diperlukan suatu pengertian dan pemahaman yang mendalam dan betul-betul diyakini kebenarannya. Ini dapat dijadikan sebagai landasan membuat kebiasaan baru yang lebih stabil dan bisa dipertanggungjawabkan serta memiliki kedewasaan beragama.
Dalam volume Kepribadian, G.W. Allport menggambarkan kepribadian yang matang terutama dicirikan oleh tiga faktor: kemampuan untuk memperbesar dan memperpanjang kepribadian, objektivikasi diri atau wawasan, dan filsafat hidup yang memadai.
Ide G.W. Allport tentang tanda-tanda kematangan kepribadian keagaman sebagaimana dikutip oleh W.H. Clark:[5]
1.       sentimen kematangan beragama berupa kritik diri
2.       kematangan beragama sepenuhnya memiliki motivasi sendiri, independen dari kebutuhan bagian petunjuk asli dan psikologis yang mungkin telah ditandai asal-usulnya
3.       konsistensi konsekuensi moral
4.       pandangan hidup yang komprehensif
5.       apabila semua kehidupan harus berkaitan dengan Sumber  umum secara komprehensif, maka kematangan agama juga akan terpisahkan
6.       titik akhir Allport bahwa agama adalah heuristik dewasa di alam.
Selanjutnya, Ahyadi[6] menggunakan tanda-tanda sentiment beragama yang matang G.W Alport (1962) sebagai ciri-ciri keberagamaan yang matang, yaitu:
1.   Differensiasi yang baik
2.   Motivasi kehidupan beragama yang dinamis
3.   Pelaksanaan ajaran agama yang konsisten dan produktif
4.   Pandangan hidup yang komprehensif
5.   Pandangan hidup yang integral
6.   Semangat pencarian dan pengabdian Tuhan.
Sementara James menggambarkan tanda kematangan beragama sebagai berikut:[7]
1.       perasaan tentang adanya sebuah Ideal Power
2.      tentang kekuasaan persahabatan berkesinambungan dengan kehidupan sendiri dan menyerah kepada kontrol
3.      ada rasa kegembiraan besar dan kebebasan, sebagai kepedulian terhadap kekurangan diri
4.       ada pergeseran  pusat emosional menuju kasih sayang yang penuh cinta dan harmonis
Norma-norma kematangan beragama menurut Wiemans dan Erich Fromm adalah: (a) nilai objektif dari sudut pandang seluruh umat manusia, (b) saling melengkapi dalam kesetiaan, (c) efisiensi dalam mencapai tujuan, (d) kepekaan dalam merasakan dan membedakan antara nilai-nilai, (e) perkembangan kesetiaan dari wujud berupa tinggi rendahnya dalam memaknai kesetiaan, dan (f) efektivitas sosial berupa kesetiaan dalam melingkupi dan mempengaruhi masyarakat.
Apabila seseorang telah memiliki beberapa tanda, ciri, atau norma maka seseorang tersebut dapat dikatakan memiliki perkembangan kematangan beragama.

C.       Faktor Penghambat Kematangan Beragama
Dalam proses perkembangannya, ada beberapa hambatan yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua faktor penghambat kematangan beragama,[8] yakni:
1.   Faktor diri sendiri
Faktor dari dalam diri sendiri dapat dibagi menjadi dua, yaitu kapasitas diri dan pengalaman.
Ø Kapasitas, berupa kemampuan ilmiah dalam menerima ajaran-ajaran ituakan terlihat perbedaannya antara orang yang berkemampuan dengan orang yang tidak berkemampuan. Bagi mereka yang mampu menerima dengan rasionya, akan menghayati dan kemudian mengamalkan ajaran agamanya tersebut dengan baik, penuh keyakinan  dan argumentative, walaupun apa yang harus ia lakuikan berbeda dengan tradisi yang sudah mendarah daging dalam masyarakat tempat ia tinggal. Sebaliknya, orang yang kurang menerima dengan rasionya maka biasanya ia akan lebih tergantung pada tradisi keagamaan masyarakatnya.
Ø Pengalaman, semakin luas, pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam mengerjakan aktivitas keagamaan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki pengalaman sempit, biasanya akan mengalami berbagai macam kesulitan atau hambatan dalam usahanya unuk mengamalkan ajaran agama secara mantap.
2.   Faktor Luar
Hambatan faktor luar ialah beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang, malah justru menganggap tidak perlu adanya perkembangan dari apa yang pernah ada, biasanya berupa tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Kultur masyarakat yang biasanya sudah dikuasai tradisi tertentu dan berjalan secara turun-temurun dari suatu generasi ke generasi berikutnya, kadang-kadang terasa oleh sebagian orang sebagai suatu belenggu yang tidak pernah selesai.
Berkaitan dengan sikap keberagamaan, William Starbuck, sebagaimana dipaparkan kembali oleh William James yang kemudian dikutip oleh Sururin,[9] mengemukakan dua buah faktor yang mempengaruhi sikap keberagamaan seseorang:
1.   Faktor intern
a.    Tempramen akan mempengaruhi seseorang dalam kematangan beragama, karena tempramen memegang peranan penting dalam sikap beragama seseorang. Misalnya seseorang yang melankolis akan berbeda dengan orang yang berkepribadian dysplastis dalam sikap dan pandangannya terhadap agama.
b.   Gangguan jiwa yang munjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah laku keagamaannya.
c.    Konflikdan keraguan yang dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama, seperti taat, fanatik, agnotis, maupun ateis.
d.   Jauh dari Tuhan, merasa diri lemah dan kehilangan pegangan hidup, terutama saat menghadapi musibah, dan biasanya juga memiliki cirri-ciri: pesimis, introvert, menyenagi paham ortodoks, dan mengalami proses keagamaan secara graduasi.
2.   Faktor ekstern
a.    Musibah, terutama musibah yang sangat serius dapat mengguncangkan seseorang, dan kegoncangan tersebut seringkali memunculkan kesadaran, khususnya kesadaran keberagamaannya, karena mereka merasa mendapatkan peringatan dari Tuhan.
b.   Kejahatan, terutama mengalami guncangan batin dan rasa berdosa. Perasaan tersebut biasanya mereka tutupi dengan perbuatan yang bersifat kompensatif, seperti melupakan sejenak dengan berfoya-foya dan sebagainya.

D.       Kematangan Beragama
Kematangan atau kecenderungan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena manganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Mengenai kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini, William james menyatakan bahwa umur keagamaan yang sangat luar biasa tampaknya justru terdapat pada usia itu, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir.
Tetapi menurut Robert Thoules, dari hasil temuan Gofer, menunjukkan bahwa kegiatan seseorang yang belum berumah tangga sedikit lebih banyak dari mereka yang telah berumah tangga, sedangkan kegiatan keagamaan orang yang sudah bercerai jauh lebih banyak dari keduanya. Menurut Thoules hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan keagamaan berkorelasi terbaik dengan tingkat pemenuhan seksual sebagai sesuatu yang diharapkan bila penyimpangan seksual itu benar-banar merupakan salah satu faktor yang mendorong di balik prilaku keagamaan itu. Hal yang paling mencolok adalah kecenderungan emosi keagamaan yang diekspresikan dalam bahasa cinta manusia. Jika kematangan beragama telah ada pada diri seseorang, segala perbuatan dan tingkah laku keagamaan senantiasa dipertimbangkan betul-betul dan dibina atas rasa tanggung jawab, bukan atas dasar peniruan atau imitasi semata.
Orang dewasa melihat keagamaan sebagai keprihatinan utama yang menyoroti keberadaan misteri sedemikian rupa untuk memberikan makna kedalaman, kelengkapan, dan memuaskan kualitas yang setara dengan tidak ada cara lain untuk menjelaskan. Ia harus dibedakan dari agama yang dangkal, yang menganggap agama adalah bunga tergeletak di pinggiran kehidupan. Karakteristik ini membantu untuk menjelaskan sifat dinamis dari kematangan beragama, sebagaimana dicatat oleh Allport. Iman yang berasal dari rasa makna hidup yang melampaui batas-batas yang dikenal baik untuk menghasilkan kekuatan motivasi dan partisipasi dalam hidup yang mengarah pada kegembiraan mengejar suatu kegiatan demi kepentingannya sendiri.
Ciri-ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan agama:[10]
Ø Optimis dan gembira
Ø Ekstrovet dan tidak mendalam
Ø Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal.
Pengaruh kepribadian yang ekstrovet,[11] maka mereka cenderung:
1.   Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kaku
2.   Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas
3.   Menekankan ajaran cinta kasih pada kemurkaan dan dosa
4.   Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara social
5.   Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan.
6.   Bersifat liberal dalam menafsirkan pengertian ajaran agama.
7.   Selalu berpandangan positif.
8.   Berkembang secara gradual.
Apabila seseorang sudah memiliki kematangan beragama, maka ia akan memperoleh kebahagiaan. Menurut James, sebagaimana dikutip oleh Jalaludin Rahmat, kebahagiaaan beragama ditandai dengan hilangnya upaya untuk melarikan diri,[12] sikap agama selalu mengandung pengorbanan, yang pada akhirnya muncul ketergantungan manusia kepada alam bersifat mutlak. Manusia tidak punya pilihan kecuali berkorban dan pasrah dengan cara apa pun. Anjuran positif untuk berserah diri dan berkorban tampak terjadi pada kehidupan beragama sehingga mempermudah dan meringankan apa yang terjadi pada manusia.  

III.      Penutup
Kesetabilan hidup dan tingkah laku keagamaan seseorang, bukanlah kesetabilan yang statis. Adanya perubahan itu terjadi karena proses pertimbangan pikiran, pengetahuan yang dimiliki dan mungkin karena kondisi yang ada. Tingkah laku keagamaan orang dewasa memiliki persepektif  yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan bagian dari komitmen hidupnya dan bukan sekedar ikut-ikutan.
Meskipun demikian, masih banyak faktor yang menhambat kesempurnaan keberagamaan orang dewasa. Kedewasaan seseorang dalam beragama atau kematangan beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakian yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.
Demikian makalh ini kami paparkan.Kritik, saran, tanggapan, dan komentarnya terhadap tulisan makalah ini sangat kami pe rlukan demi kematangan dan perkembangan kita dalam menganalisa seperti apa kematangan beragama pada orang dewasa.


Referensi:
Afkika, Kemal. Agama Orang Dewasa. http://one.indoskripsi.com/node/3185  Posted June 4th, 2008 diakses senin, 28 Des 09.
Ahyadi, Abdul Aziz. 2001. Psikologi Agama: Kepribadian Muslim Pancasila. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Clark, W.H. 1962. Psychologi of Religion. New York: Perusahaan Macmillan.
Daradjat, Zakiah. 2003. Ilmu Jiwa Agama, cet. XVI. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Rahmat, Jalaludin. 2005. Psikologi Agama: Sebuah Pengantar, cet.III. Bandung: Mizan.
Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.




[1] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, cet. XVI. (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2003), hlm. 5.
[2] Kemal Afkika, Agama Orang Dewasa. http://one.indoskripsi.com/node/3185  Posted June 4th, 2008
diakses Senin, 28 Des 09.

[3] Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama: Kepribadian Muslim Pancasila (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2001), hlm.49.
[4] Sururin, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 94.
[5] W.H. Clark, Psychologi of Religion (New York: Perusahaan Macmillan, 1962) , hlm.244-247, yang sudah kami alih bahasakan.
[6] Abdul Aziz Ahyadi., hlm.50.
[7] W.H. Clark., hlm.248-249, yang sudah kami alih bahasakan.
[8] Sururin, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 92-93.
[9] Ibid., hlm. 94-96.
[10] Ibid.,hlm. 96.
[11] Ibid., hlm. 97.
[12] Pernyataan James, (no escape): icares no longer for escape” (1958: 55). Jalaludin Rahmat, Psikologi Agama: Sebuah Pengantar, cet.III (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 210

Comments

Popular posts from this blog

Mengenal Huruf Hijaiyah dan Tanda Baca al-Qur’an

SKL, SK, dan KD Al Qur'an Hadits MI

SK KD IPS SD/ MI DALAM KTSP